Ads 468x60px

Pages

Subscribe:

Labels

Selasa, 11 Oktober 2011

Belanda Kaya Karena Pajak Ganja 10 Triliun/Tahun


Mungkin Belanda negara satu-satunya yang melegalkan ganja sebagai konsumsi bagi warganya maupun bagi para pelancong. Karena itu banyak pelancong sengaja mendatangi belanja hanya untuk menghisap ganja secara bebas di tempat-tempat yang telah disediakan, seperti kedai kopi, atau rumah candu.
Dari hasil pajak ganja, pemerintahan Belanda mendapat pemasukan sekitar 10 triliun rupiah  atau 850 juta Euro (termasuk pajak sewa hotel, makanan, minuman) biasanya pelancong tidak hanya menikmati ganja saja, tetapi juga mereka akan menyewa hotel, membeli makanan dan minuman.
 Partai Demokrat Kristen, salah satu partai koalisi pemerintahan di Belanda, berencana membatasi total konsumsi ganja di negeri ini dengan menutup izin menjual ganja yang dimiliki 700 lebih kedai kopi. Namun, rencana ini mendapat tentangan kuat, bukan hanya oleh oposisi tapi juga dari dunia usaha pariwisata.
Karena berkuasa, koalisi konservatif berhasil meloloskan aturan yang membuat 'penjualan' ganja hanya bisa pada anggota klub saja alias warga lokal saja. Turis asing tentu saja tak bisa karena tak terdaftar.
Beberapa kota telah menerapkan pengetatan, dengan membatasi jarak kedai kopi dengan sekolah atau dengan memindahkannya ke pinggiran. 1 Oktober, kedai kopi di Maastricht telah melarang semua warga asing dari negeri tetangga Belanda yakni Belgia dan Jerman untuk mengkonsumsi ganja.
Kriminolog Dirk Korf dari Universitas Amsterdam menyatakan, tak jelas apakah publik Belanda mendukung program ini. Namun dia mengingatkan, kondisi sekarang jauh lebih baik dibanding masa saat ganja dijual di jalanan di era 1980-an.
Dan menurut Trimbos Institute, hanya 5 persen warga Belanda yang menghisap ganja atau hashish pada tahun 2011, di bawah angka rata-rata Eropa 7 persen.
Ditiru Dunia
Belanda sebenarnya tidak melegalisasi ganja, hanya menoleransi penjualan dan penanaman ganja sampai ukuran tertentu. Cara Belanda ini pun menjadi kajian perbandingan dalam mengatasi problem kecanduan bahan terlarang ini.
Juni lalu, sejumlah pemimpin global mempertanyakan keberhasilan 'perang melawan narkoba'. Komisi Global untuk Kebijakan Obat-obatan yang beranggotakan antara lain mantan Presiden Brasil Fernando Henrique Cardoso dan mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa Kofi Anna menyatakan strategi melarang ganja, memenjarakan pengguna sekaligus memerangi kartel pengedar telah gagal.
Mereka menyebutkan, percobaan Belanda, Portugis dan Swiss dengan membuat pelonggaran penggunaan ganja perlu ditiru. Terbukti cara mereka mengurangi pecandu.
Portugis bahkan lebih maju dari Belanda dengan menghapuskan semua pidana untuk semua macam narkoba, mengganti penjara dengan konseling dan terapi.
Namun rupanya, Partai Demokrat Kristen Belanda berpendapat sebaliknya, pelonggaran akan membawa efek negatif. "Di negara lain tak ada toleransi sama sekali," kata mereka di situs resminya. "Kedai kopi Belanda telah menarik banyak turis khususnya di daerah perbatasan, telah menyebabkan kekacauan."
Kini mereka berencana menerapkan model Maastricht untuk seluruh Belanda termasuk Ibukotanya, Amsterdam. Pengguna ganja harus terdaftar.
Jelas ada oposisi untuk rencana ini, tentu saja pertama dari para pengguna. "Banyak pelanggan saya orang lokal, seniman, penulis, dokter, pengacara dan profesional," kata Paula Baten, manajer kedai kopi Siberie di Amsterdam. "Mereka tak ingin namanya tercatat, karena tak tahu siapa yang bisa melihat atau memakainya. Jika tidak, mereka akan mencari ganja di jalanan."
"Pemerintah ini jelas lebih Kristiani, lebih sayap kanan. Mereka tak mau narkoba, namun mereka lupa efek alkohol (yang legal)," katanya.
Dan kekhawatiran para pengelola kedai kopi terbukti. Turis asing yang kesulitan mendapatkan ganja meminta warga setempat membelikan untuk mereka di kedai kopi untuk dibawa keluar. Ganja pun kembali menjadi konsumsi jalanan.
Walikota Amsterdam Eberhard van der Laan menentang rencana pemerintah pusat Belanda ini. Walikota menyampaikan pada Reuters sedang berjuang meyakinkan menteri untuk tak memberlakukan aturan itu di wilayahnya. Kontraproduktif, kata sang walikota.
Betapa tidak kontraproduktif. Belanda seperti kebanyakan Eropa sedang dilanda resesi ekonomi, bahkan baru saja menyuntik perbankannya 40 miliar euro. Pemasukan dari sektor riil menjadi vital termasuk salah satunya dari pariwisata dan pajak kedai kopi. 
Tiap tahun diperkirakan sampai 850 juta euro atau lebih dari Rp10 triliun pemasukan pajak datang dari kedai kopi. Belum lagi penghematan anggaran dari tak perlunya penegakan hukum untuk pelanggaran ringan menghisap ganja. Belum pula menghitung penerimaan dari turis yang berkunjung.
Profesor Korf menemukan, turis yang mengunjungi kedai kopi setidaknya menghabiskan 200 euro untuk kamar hotel atau pergi ke klub malam. Jackie Woerlee, seorang yang memiliki bisnis tur ganja, mengatakan salah satu pelanggannya keluarga kerajaan di Timur Tengah. Sekali berkunjung selama beberapa minggu menyewa apartemen mewah, shopping di toko-toko mahal.
"Mereka dengan mudah menghabiskan 100 euro di kedai kopi (termasuk beli ganja), namun bukan hanya itu, dia juga makan, menyewa apartemen," katanya. (Sumber detik)

Baca pula postingan : (Pria Sekarang Jarang Selingkuh Dibanding Pria Tahun 70-an, Kebenaran Seputar Mitos Mengisi BensinMobil Tertua di Dunia Berharga 42 Miliar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar